Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Berguru pada gunung slamet, yang mengajarkan arti hidup selamat yang sesungguhnya


"...Guru yang paling terbaik adalah pengalaman.."



Setiap orang mempunyai ragam pengalaman dalam hidupnya, entah pengalaman yang dihadapi itu adalah pengalaman yang menyenangkan atau pengalaman yang pahit. Setiap pengalaman yang dihadapi akan sangat membekas dihati dan pikiran setiap orang, pengalaman itu adalah guru yang paling terbaik dalam hidup yang dijalani. Berbicara tentang pengalaman mungkin setiap perjalanan yang gue ceritain di awal-awal posting blog adalah pengalaman menyenangkan, walau ga jarang pengalaman yang konyol bahkan menyedihkan (efek yang terlalu di dramatisir). Tadinya gue ga mau menceritakan pengalaman pahit yang pernah gue alami, mungkin pengalaman gue masih biasa buat sebagian orang lain dan ada yang pernah mengalami sebuah pengalaman yang lebih pahit lagi bahkan terasa getir. Tapi inti dari itu semua semoga ini menjadikan pembelajaran buat semua agar ga terjadi lagi sebisa mungkin, toh siapa juga sih yang mau sengsara atau mengalami pengalaman ga enak (kalo masih pada nekat silahkan aja asal mau tanggung sendiri resikonya).

"Oke para pembaca yang budiman..., diceritaken pada suatu ketika...", (bergaya ala dalang).

"Treeeek....tek..tek....teeek,dhoog..dok...dok...", (suara dodogan).

Tangerang, selasa 21 agustus 2012.
Dari kemaren sudah sibuk bongkar pasang packingan carrier sampai begadang karena hari ini untuk mengisi libur lebaran, gue akan naik Gunung Slamet, gunung Sindoro, dan gunung Sumbing yang dikenal Triple S dikalangan para pendaki gunung. Karena masih belum tau jalur pendakian ketiga gunung itu, ditambah bingung apa aja yang harus dibawa maka gue seperti orang linglung (ga tau harus gimana?). Siang hari menjelang sore setelah bongkar pasang berkali-kali pilih mana saja barang yang akan dibawa untuk perjalanan 3 gunung itu, akhirnya selesai karena harus segera berangkat ke meeting point keberangkatan yang ditentukan panitia (mepeeeeet banget dah ah waktunya...pusiiiiiing kepala akuuuuuh).

***

Setibanya di meeting point yang ditentukan, gue langsung menghubungi panitia yang pertama kali gue hubungi saat pendaftaran. Ngobrol ngalor ngidul sambil nunggu yang lain berkumpul setelah menjelang sore akhirnya semua yang ikut dalam pendakian Triple S ini terkumpul, kita semua berangkat dengan menggunakan mobil carry yang posisi bangkunya sudah dimodifikasi seperti angkot. Perjalanan hingga kota Tegal lancar karena masih suasana libur lebaran, dan singgah sebentar dirumah kawan seorang panitia untuk silahturami dengan keluarga temannya itu. Oiya panitia yang mengadakan ini KPA (Kelompok Pecinta Alam) yang dibentuk dari teman main, jadi hampir semua peserta yang ikut merupakan teman-teman dari panitia yang gue kenal. Dan peserta yang dari luar hanya ada beberapa orang termasuk gue sendiri, jadi gue hanya baru mengenal satu orang yaitu panitia yang menerima pendaftaran. Pada saat sampai di Tegal kita mendengar kabar bahwa gunung Sindoro dan gunung Sumbing tutup untuk kegiatan pendakian, dikarenakan kebakaran hutan terjadi karena musim kemarau. Dan panitia juga peserta berunding untuk tidak memaksakan melakukan pendakian kedua gunung itu, lalu panitia mengalihkan ke gunung Ciremai ketika selesai turun dari gunung Slamet (dalam hati agak kecewa karena gagal mendaki Triple S).

Pos lapor pendakian gunung Slamet via jalur Bambangan, rabu 22 agustus 2012.

Masih pagi namun matahari di kaki gunung Slamet cukup terik, dan kabar buruk yang gue dapatkan adalah gunung Slamet ga ada air kali ini akibat kemarau cukup panjang (jidat mengkerut...pegangin kepala gimana nanti diatas). Buat gue kalo naik gunung yang ga terdapat mata air itu adalah sesuatu banget, gue paling ga bisa menghadapi tenggorokan kering. Tapi karena udah sampai sini mau bilang apa, jalani aja dulu syukur-syukur bisa muncak. Akhirnya ketika semua para peserta packing ulang dengan sudah dibagi-bagi jadi beberapa regu, gue yang tergabung dalam satu regu sudah diberi tanggung jawab masing-masing membawa perlengkapan. Kebetulan karena semua sudah terbawa oleh para peserta lain yang masuk regu gue, jadi gue ga bawa perlengkapan regu lagi dan bawaan gue hanya bawaan barang milik pribadi saja (dalam hati seneng banget karena ga bawa beban berat).

Perjalanan dimulai langkah kaki masih ringan melangkah, masih bisa tertawa dan bercanda gue waktu itu dengan beberapa pendaki yang bertemu di jalur pendakian. Tapi ketika menanjak gue langsung hening dan jalan menunduk, hanya terdengar suara ngos-ngosan (nafasnya senen-kemis....engaaaap banget rasanya). Gue baru inget ga pernah olah raga lagi belakangan sebelum pendakian ini, ditambah kurang tidur juga (ah...lengkap sekali derita kali ini). Berjalan selama beberapa jam gue mulai terhuyung-huyung kaya lagi mabok, udah nampak sangat lelah gue sampai beberapa kali duduk istirahat. Jalan sedikit banyak istirahat terus panasnya cuaca siang ini sangat terik, hingga membuat persediaan air yang gue bawa mulai menipis. Setelah melalui pos 2 gue mulai bilang ke panitia yang gue kenal, kayanya gue ga bisa muncak karena fisik mulai ngedrop. Tapi seperti biasa ketika pendakian pasti teman seperjalanan akan memberi semangat, begitu pula yang dilakukan oleh panitia yang gue kenal itu terus menyemangati.

Akhirnya setelah melewati pos 3 gue udah ga mau memaksakan diri untuk terus berjalan, dan bilang ke tim sweeper gue ga bisa ikut muncak karena kondisi gue ngedrop. Gue titipkan pesan aja ke tim sweeper sampaikan panitia yang gue kenal kalo gue ga bisa lanjutin muncak, dan panitia yang gue kenal waktu itu sudah diatas turun lagi menghampiri posisi terakhir gue yang disampaikan tim sweeper. Panitia yang gue kenal itu tanya tentang kondisi gue, gue bilang baik tapi gue ga bisa lanjutin perjalanan kemungkinan gue akan turun kembali. Mungkin besok pagi karena hari pun sudah sore, gue ga memungkinkan jalan malem dan bilang ke panitia itu agar naik aja. Para peserta lain lebih membutuhkan, gue yakinkan bisa jaga diri sampai besok dan segera turun ketika pagi datang. Akhirnya panitia yang gue kenal itu kembali naik, gue sendirian berjalan pelan-pelan hingga pos 4 mencari tempat bermalam yang enak. Di pos 4 gue sendirian tanpa ada pendaki lain yang lewat, gue bongkar isi tas untuk persiapan bermalam di pos 4. Ternyata pas gue bongkar botol air persediaan gue pecah dan stok cadangan air gue hanya tersisa tidak lebih dari 200 ml, gue langsung hopeless gimana gue bisa bertahan sampai turun besok kalo cadangan air gue tinggal segini (pegang kepala mikir udah mulai aneh-aneh). Sebelum benar-benar gelap gue buat tempat agar bisa tidur hadapi malam yang dingin tanpa air dan makanan yang bisa dimasak. Ternyata Tuhan memang sangat baik, menjelang langit benar-benar gelap datang sekelompok pendaki yang lewat dan berencana buka tenda di pos 4 deket tempat gue bermalam. Gue dikasih makan dan minum yang cukup mengisi perut gue yang kelaperan, kita ngobrol-ngobrol hingga menjelang tengah malam. Gue sangat berterima kasih banyak kepada para pendaki itu, karena kalo ga ada mereka gue pasti makin kedinginan ditengah malam dengan perut kelaparan tidur ditempat terbuka tanpa tenda. Malam kali ini terasa sangat panjang berlalu nya waktu lambat sekali, gue yang tidur beratapkan langit berpikir mengawang-awang seperti bintang yang bertebaran tidak beraturan. Semakin melankolis ingin rasanya menangis, apakah hidup gue akan berakhir disini...?!? Mentari saat ini sangat gue harapkan agar pagi cepatlah datang, angin yang berhembus seperti memaksa tekuk tubuh dan udara dingin menusuk-nusuk tulang.

***

Pos 4 pendakian gunung Slamet via jalur Bambangan, kamis 23 agustus 2012.

Pagi akhirnya datang, PUJI TUHAN gue masih bisa merasakan hidup (ga mati kedinginan di gunung). Seperti orang yang dikasih kesempatan hidup lebih panjang, gue merasa semangat lagi untuk survive turun hingga desa. Dengan bekal seadanya gue bergegas langsung turun gunung, waktu itu hanya ada tersisa 5 biji kurma dan sisa air ± 100 ml gue percaya masih bisa buat untuk bertahan. Karena setelah menghadapi pengalaman semalem, ditambah perenungan yang menghasilkan bahwa sesungguhnya tujuan utama setiap perjalanan adalah kembali pulang ke rumah dengan kondisi hidup. Setiap memulai perjalanan keluar dari rumah, maka titik akhirnya perjalanan itu adalah tiba di rumah lagi. Ketika mendaki gunung puncak bukanlah hal yang utama, berdiri di puncak mungkin sebuah kebanggaan buat sebagian orang. Tapi ketika disatu kondisi saat tidak dapat melanjutkan, jangan pernah gengsi atau malu tidak sampai puncak. Lebih baik pulang kerumah dengan selamat, daripada tetap nekat tapi pulang hanya tinggal nama.

3676831080954Akhirnya gue bisa sampai desa dengan selamat tanpa kurang apapun, berjalan dengan gontai lemas sesekali terjatuh lalu terguling-guling. Badan penuh pasir dan debu juga mulut kering, disepanjang jalan gue minta air sedikit-sedikit dari pendaki se-ketemu-nya dijalur yang masih punya sisa air hanya untuk sekedar basahi bibir yang sudah pecah-pecah (menelan air liur pun rasanya sudah ga terasa). Sampai desa pun akhirnya gue merasakan dehidrasi berat, tapi gue bersyukur karena masih diberi kesempatan hidup dan diberi kekuatan survive.

***

Setelah itu perjalanan masih dilanjut ke Gunung Ciremai melalui jalur Palutungan, kali ini gue ga ikutan naik dan hanya menunggu yang pada naik di warung dekat pos lapor pendakian gunung Ciremai via jalur Palutungan. Kondisi gue masih kurang fit untuk lakukan aktifitas berat, jadi sambil menunggu gue keliling sekitar desa aja sambil memanjakan mata liat pemandangan desa. Gunung ga akan lari dikejar, mungkin suatu saat nanti gue akan balik lagi jika semua sudah siap.

3684544033773
View gunung Ciremai dari desa Cisantana.

3683564129276
***

3895156658957Demikianlah cerita pengalaman pahit yang pernah gue alami di gunung Slamet, gue belajar tentang pengalaman yang ga akan terlupakan dalam hidup. Mendaki tanpa persiapan (persiapan fisik atau mental), jangan selalu mengandalkan orang (pada dasarnya harus mandiri, tidak semua orang dapat kita harapkan bisa untuk diandalkan), segala sesuatu harus diperhitungkan (keputusan yang akan diambil harus dipertimbangkan tanpa mengutamakan ego semata), saat hendak pergi ingat akan pulang (karena setiap perjalanan mengajarkan arti "pulang" yang sesungguhnya).

"..Mungkin gue bisa ngikutin ego gue untuk maksa dan nekat ke puncak. Tapi akan beda pula ceritanya jika gue melakukan keputusan yang salah waktu itu, mungkin gue ga bisa nulis blog ini...????", sambil menyeduh kopi yang sudah habis untuk menemani gue lanjutkan menulis cerita berikutnya.

Post a Comment for "Berguru pada gunung slamet, yang mengajarkan arti hidup selamat yang sesungguhnya"